ENDLESS story
profile

熊雪 孟ひ(と)
Haruhi(to) Kumayuki
Haruhi, Haru-chan
Generasi ke-21 dari silsilah resmi Keluarga Penyihir Pureblood Kumayuki,
yang merupakan urutan kedua keluarga penyihir tertua di Jepang.
Pureblood (tak ada seorangpun anggota keluarga yang muggleborn maupun
Tinggi badan 172cm dengan berat 56kg. Cukup tinggi untuk orang Asia, namun pendek untuk orang Eropa.
Berambut hitam agak berantakan seleher, bola mata berwarna hitam terang agak sedikit sipit, hidung agak mancung, dan bibir agak tipis.
Memiliki gingsul di gigi kiri yang akan terlihat jika tertawa.
Lahir di Kanada, tanggal 7 Mei tahun 1962,
tak pernah menginjakkan kakinya di Negeri Sakura tersebut hingga musim panas tahun 1978.
Tongkat sihir pertamanya dipatahkan orang ketika baru pertama kali menerima dan menggunakannya.
Willow wood 34 cm, inti ekor Chimaera dan nadi Naga Peruvian Tooth adalah tongkat sihirnya hingga saat ini.
Terdaftar di Hogwarts sebagai murid Asrama Slytherin, angkatan tahun 1974.
Ambisius, pendiam, datar dan ketus.
Bicara seperlunya dan tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya.
Agak tertutup pada orang-orang yang tak dikenalnya dekat.
Sorot matanya jika sedang seorang diri seolah kesepian,
namun tak pernah memperlihatkannya di depan orang-orang.
Tidak pernah berkata tulus selain kepada bibinya, Larine Kumayuki, dan kekasihnya, Mizuhime Winterfield.
Mudah cemburu dan terpancing emosinya.
Menganggap Ares Mendez de Locksley sebagai rival cinta terberatnya.
Visualisasi Haruhi Kumayuki : Tatsuya Fujiwara. Foto diambil dari International Fansite, RDTF.
Semua yang tercantum disini adalah fiktif dan hanya untuk kepentingan IH-RPG, tidak pernah ada eksistensinya di dunia nyata.
Senin, 23 Maret 2009 (02.03)
Gerbang Masuk Kediaman Kumayuki, Pagar Utama
09:10 AM, Still Raining Outside
(Osamu Kumayuki Side)
Hujan semakin turun dengan deras. Tentu saja hal ini membuat Osamu agak sedikit kesal—mengapa para pelayan bodoh itu tidak mempersilakannya masuk saja, eh? Atau perlu ia ber-Apparate sekarang juga? Noes, itu terlalu kasar sebagai penyambutan. Yeah, penyambutan selamat datang pada pewaris cilik itu. Keturunan laki-laki terakhir di generasi ke-21—katanya. Osamu, pria di usia ketigapuluhnya itu mendengus. Pada kenyataannya, masih ada generasi ke-20. Osamu sendiri, namun namanya tak pernah tercatat dalam surat warisan keluarga. Dihapuskan secara tidak terhormat, tepatnya. Ia tahu betul dirinya masih berhak atas aset jutaan Yen itu—setidaknya, di dalam tubuhnya juga mengalir darah Kumayuki. Begitu pula dengan adiknya, Larine—kemana gadis itu sekarang? Terakhir yang Osamu dengar, adiknya itu membunuh kedua orang tua mereka.
Ya, kau tidak salah dengar. Membunuh.
Osamu berdecak kesal, hujan ternyata tidak berhenti. Segera saja pria itu memakaikan tudung jaket hitam ke kepalanya yang berambut tipis, kemudian berteduh di bawah atap kecil pagar utama. Ia masih setia berdiri tepat di depan pintu kayu besar nan kokoh itu—berharap si pewaris cilik sudi untuk menemuinya. Anggap saja sebagai perkenalan dan babak awal dari apa yang sudah Osamu rencanakan sejak dulu. Bahkan sejak ia masih belia. Pertama kali ia mendengar bahwa kakeknya memiliki cicit laki-laki, Osamu sudah bertekad akan merebut harta itu dari tangannya. Pembalasan karena keluarganya, sisi lain Kumayuki, tidak mendapatkannya. Osamu sudah cukup ambisius dengan apa yang diceritakan ayah dan ibunya, belum lagi dengan deretan pelecehan yang dilakukan oleh sang kakek dan istri pertamanya—yeah, nenek Osamu adalah istri kedua. Keberatan?
Dan sekarang kau tahu mengapa nama Osamu dicoret dari daftar warisan.
Pria jangkung itu kembali berdecak kesal di bawah bayang tudung yang dikenakannya. Sesekali ia menepuk beberapa bagian pakaiannya yang basah. Jubah dan jaketnya—sepertinya hampir tidak terselamatkan. Pada saat seperti inilah sihir sangat berguna—don't you think so? Osamu mengembangkan senyumannya di ujung bibir, mengeluarkan tongkat sihir Eldernya. Namun, perhatiannya teralihkan pada suara berisik cipratan air, sepertinya berasal dari posisi yang tak jauh darinya. Ia menoleh, matanya memicing—dan tak perlu waktu lama bagi otaknya untuk segera mengidentifikasi sosok apa yang semakin mendekat. Wanita.
Gadis, tepatnya, dalam balutan yukata hijau mudanya—dan basah kuyup. Sebisa mungkin Osamu tidak mengindahkan gadis tersebut yang kini telah berada di sebelahnya, bahkan sempat memberikan senyuman. Yeah, senyuman—sudah berapa lama Osamu tak tersenyum tulus seperti itu? Lama sekali, mungkin belasan tahun yang lalu. Osamu sudah lupa bagaimana caranya tersenyum dengan baik, dan jangan salahkan siapapun soal ini. Ia kembali fokus pada tongkat sihirnya, sekali lagi tidak mempedulikan gadis tersebut sekaligus tak membalas senyumannya. Diayunkannya benda itu mengitari tubuhnya, dan tak perlu makan waktu tiga detik untuk mengeringkan pakaiannya. Non-verbal, as always. Ia kembali menatap lurus pintu kokoh di depannya, memasukkan tongkat sihir kembali ke saku jaket depannya kemudian memasukkan kedua tangannya, tepat setelah merapatkan tudung jaketnya. Ia menggenggam erat tongkat di dalam sakunya.
Osamu mendengus—lagi.
Where are you, cowardly dog?
--------------------------------
Koridor Depan Kediaman Kumayuki
09:11 AM, Heavy Raining Outside
(Haruhi Kumayuki Side)
"Tou-san, HAYAKU!" teriak Kaoru dengan panik, mengambil payung plastik transparannya dari tempatnya di dekat rak sepatu. Hideyuki memakai bakiaknya dengan agak sedikit terburu-buru, melirik istrinya yang memasang wajah agak sedikit kebingungan. Kaoru menggeser pintu utama untuk membukanya pada akhirnya, mengakibatkan suara derasnya air hujan yang jatuh ke permukaan bumi begitu jelas terdengar. Makiko mengisyaratkan putrinya untuk menutup pintu, namun Kaoru tidak mempedulikannya. Kesal karena sang ayah begitu lama (pakai pilih payung segala?! YA TUHAN), segera ditariknya pria setengah baya itu dengan paksa keluar dari koridor depan, meninggalkan Makiko dan Haruhi yang baru saja tiba disana. Ia melirik wanita yang ada di sebelahnya sekilas, turun dari koridor dan memakai bakiaknya, langsung asal mengambil payung yang ada di tempatnya dan berlari mengejar kedua Matsuzaka itu.
Haruhi-penasaran-setengah-mati.
Perlu sekitar beberapa menit untuk mengejar keduanya, karena jarak antara gerbang depan dengan pintu utama ternyata cukup jauh. Percikan-percikan air yang membasahi celana jins maupun kakinya yang hanya beralaskan bakiak, tidak dipedulikannya. Dengan sedikit berhati-hati karena jalan setapak yang dilaluinya mulai licin, Haruhi masih terus mengejar keduanya dengan setengah berlari. Payung yang digunakannya saat ini ternyata tak terlalu berpengaruh banyak karena hujan semakin deras saja. Langkahnya terhenti tepat di sebelah Kaoru, di depan gerbang pagar utama yang telah terbuka lebar. Tampaknya Hideyuki baru saja membukanya, dan entah kenapa ekspresi wajahnya terlihat kurang begitu menyenangkan. Kaoru sendiri berada setengah meter dari punggung ayahnya, menarik lengan baju Haruhi untuk menariknya mundur begitu tahu tuan-mudanya itu nekat mendekat ke Hideyuki. "Haruhi-sama, jangan kesana! Biarkan Tou-san yang mengatasinya!" ujar Kaoru dengan suara pelan, mengerling pada Hideyuki. Haruhi mengernyitkan dahinya : bingung sekaligus penasaran. Ada apa sebenarnya?
"Haruhi-sama tidak perlu bertemu denganmu," ujar Hideyuki dengan nada begitu datar, sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan beberapa menit yang lalu. Terlihat pria itu tengah berbicara dengan seseorang bertudung hitam, tak ada tanda-tanda bekas air hujan membasahinya. Hideyuki menatap tajam sosok di depannya yang ternyata seorang pria, namun daritadi menyembunyikan wajahnya di balik tudung. Ditariknya nafas dalam seraya menutup sebagian pintu gerbang, berusaha untuk tidak membuka sedikitpun kesempatan pada pria bertudung masuk ke dalam wilayah kediaman tuan-mudanya. Sekaligus mencegah agar tak ada satupun hal yang tak diinginkan terjadi padanya, "Pergilah. Haruhi-sama sama sekali tidak memiliki urusan denganmu—"
"Oh, jelas dia punya urusan denganku, Matsuzaka-san," Hideyuki agak terperanjat karena mendengar namanya tersebut padahal tak pernah menyebutkannya pada sosok itu, yang kini terkekeh pelan, "kau terkejut? Kurasa wajar," lanjut sosok tinggi dan kekar itu dengan kedua tangan masih tetap di saku jaketnya. Tak ada tanda-tanda bahwa yang bersangkutan berencana menyerang serta menyakiti Hideyuki, namun tetap saja harus waspada. Entah apa yang akan dilakukan si pria bertudung itu jika Hideyuki lengah. Lihat saja sekarang, sebuah tongkat panjang telah mengacung tepat ke arah leher Hideyuki, pertanda bahwa si empunya benar-benar serius dengan makusdnya dan tak akan segan memantrai korbannya. Hideyuki berusaha untuk tetap tenang di bawah ancaman si pemilik yang kini kembali tertawa, "Aku tak segan memantraimu walau sebenarnya ini membuang-buang waktu dan tenagaku. Yah, kau bukan tujuan utamaku kemari," ujarnya seraya mengerling si gadis Yukata yang berada tak jauh darinya, "panggilkan tuan-mudamu itu. Aku hanya ingin memberikan sambutan kecil," senyumnya sinis.
Hideyuki tak bisa berbuat apapun. Tongkat sihirnya tidak bersamanya kali ini.
"JAUHKAN TANGANMU DARI AYAHKU!"
Entah sejak kapan Kaoru sudah menghilang dari sisi Haruhi dan berpindah ke sebelah ayahnya. Gadis itu tengah mengacungkan tongkat Birch miliknya ke arah si pria bertudung dengan penuh amarah. Siapa yang tidak marah jika ayahmu diperlakukan demikian? Haruhi akhirnya berjalan mendekat ke gerbang, dengan payung yang masih setia meneduhinya. Matanya menangkap sosok pria besar bertudung hitam berada disana, mengacungkan tongkat sihirnya pada Hideyuki tepat di leher sementara Kaoru juga melakukan hal yang sama. Haruhi semakin mengernyitkan dahinya : benar-benar tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Ia ikut mengeluarkan tongkat sihirnya, berjalan perlahan mendekat pada si pria bertudung.
Namun, langkahnya terhenti karena menangkap sebuah sosok lain di matanya begitu melangkah keluar.
Hime.
"Haruhi-sama!" ucap Kaoru refleks begitu menyadari tuan-mudanya telah berada di dekatnya, begitu pula dengan Hideyuki. Pria setengah baya itu terbelalak, "Haruhi-sama—! Bukankah saya sudah melarang anda untuk keluar?!" ujarnya sedikit panik. Haruhi hanya tersenyum kecil mendengarnya. Jangan harap aku akan menurut. Si pria bertudung tersenyum sarkatis, menurunkan tongkat sihirnya dan beralih pada Haruhi. Tongkat sihir Kaoru yang teracung segera ditepisnya (tongkat beradu tongkat), menyuruh gadis itu menyingkir dari hadapannya namun Kaoru tidak mau. Ia malah meregangkan tangannya seolah berusaha menghalangi si pria bertudung mendekat pada Haruhi.
"Akhirnya kau muncul juga—tuan cilik." senyumnya misterius. Tongkat sihir masih berada di genggamannya, dan Haruhi tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukannya. Ia tahu betul bahwa pria di depannya ini pasti mencarinya, dan apapun itu, tak boleh ada yang terlibat lebih jauh. Biarkan Haruhi yang menyelesaikan urusannya dengan pria bertudung ini. "Kaoru," Haruhi melirik sekilas gadis itu, kemudian beralih pada Hime, "bawa gadis itu masuk," bisiknya, seraya memberikan tatapan penuh arti pada kekasihnya yang berbalutkan Yukata hijau muda itu. Cantik seperti biasanya. Tapi bukan waktunya bagi Haruhi untuk menyampaikan kata pujian itu pada Mizuhime Winterfield saat ini. Mungkin nanti.
"Kau mencariku, bukan?"
Dan Haruhi tidak tahu apa yang menantinya setelah ini.
Label: 1980, Kumayuki Residence, Osamu, Places, Summer Holiday
Is it over yet?...thinks this is not the end.
(01.59)
“Aku pergi dulu ya, Oka-san.”
“Mizu—kau mau kemana?”
“A—aku, mau ke Bunkasai dengan Yuki, Toru, Hana dan Yota. Bolehkah?”
“Tentu saja boleh, Mizu. Tapi, apa tidak terlalu pagi? Hari masih pukul delapan.”
“Iie. Ah—aku harus segera pergi. Jya ne!”
“Jya! Hati-hati dijalan, nak.”
Fiuh. Oka-san tidak curiga padaku. Gomen, Ka-san. Gomen ne. Ka-san pasti mengerti kalau aku cukup pemalu untuk mengutarakan keinginanku untuk berkunjung ke rumah Haruhi. Gadis yang terpaksa harus menggunakan Yukata berwarna hijau muda dengan corak bunga besar di Yukata-nya, harus berjalan kaki cukup jauh setelah turun dari taxi yang ia tumpangin. Daerah rumah Haruhi hanya boleh dilewati mobil kendaraan pribadi—kendaraan umum sangat dilarang untuk bisa memasuki wilayah sekitar rumah kekasihnya. Tangan kanannya telah tergenggam sebuah kertas berukuran kecil yang bertuliskan alamat rumah kediaman Kumayuki yang diberikan secara langsung oleh Haruhi sendiri saat tiba di Jepang dua hari yang lalu. Kata sang supir taxi—Mizu harus berjalan lurus hingga ada pertigaan kemudian berbelok kanan dan belok kiri. Nah, disana rumah keluarga kediaman Kumayuki berada.
Cukup rumit berjalan jauh dengan geta. Gadis itu merutuk dalam hatinya karena menyesal memakai Yukata yang pastinya harus memakai geta sebagai alas kakinya. Rambutnya panjangnya sengaja tidak ia sanggul, karena tidak wajib bagi seorang gadis saat memakai Yukata harus menyanggul rambutnya. Ya, bersabarlah, pertigaan tidak terlalu jauh. Sambil berjalan—Mizu melirik pada jam tangannya, hari ini sudah menunjukkan pukul Sembilan kurang sepuluh. Musim panas—namun, cuaca mendung di daerah Chofu-shi. Ia sama sekali tidak membawa payung—karena Mizu tidak menduga kalau cuaca akan mendung. Tuhan sepertinya marah karena Mizu tidak berkata jujur pada ibu kandungnya. Gadis itu tetap berjalan—kini ia berbelok kanan setelah ia sampai di pertigaan.
Rintik hujan mulai turun dari permukaan awan. Mizu mempercepat langkahnya—takut kalau basah kuyup jika hujan semakin lebat. Kini ia berbelok kiri—kedua bola matanya kini membaca sekali lagi alamat kediaman Kumayuki. Ah—terpampang jelas sebuah tulisan kanji di salah satu sudut tembok luar rumah berwarna putih tulang, kalau rumah itu adalah kediaman keluarga Kumayuki. Segera Mizu memasukkan kertas kecil yang berisikan alamat rumah Haruhi ke dalam tas kecilnya yang ia tenteng sedari tadi. Sangat terkejut—karena Mizu bisa melihat dari luarnya saja, kalau dalam rumh kediaman Kumayuki bisa dibilang sangat luas. Oh, pantas saja kendaraan umum tidak boleh memasuki wilayah ini.
Hujan semakin lebat—Mizu akhirnya bisa menemukan di mana pagar utama rumah itu. Dari kejauhan terlihat sosok orang memakai tudung hitam dam berjubah hitam yang senada dengan tudung kepalanya. Basah kuyup seperti Mizu sekarang. Dengan ragu, Mizu mendekati pagar utama rumah kediaman Kumayuki—sedikit ketakutan karena orang bertudung disampingnya.
Bagaimana caranya memanggil Haruhi kalau aku datang, eh?
Mizu memaksa untuk tersenyum ramah pada orang yang bertudung yang menatap Mizu.
Label: 1980, Kumayuki Residence, Mizuhime, Places, Summer Holiday
Rabu, 18 Maret 2009 (01.12)
Summer 1980
09:04 AM, A week and 2 Days after arrival
"Ohayou gozaimasu, Haruhi-sama."
Kau tahu? Haruhi sama sekali belum terbiasa dengan panggilan -sama itu.
"Err—pagi, Makiko," ujarnya membalas sapaan dari Makiko Matsuzaka, pengurus rumah sekaligus istri dari Hideyuki itu. Telinga Haruhi rasanya berdengung tiap kali mendengar sapa-sapaan dan bahasa-bahasa Jepang berseliweran di sekitarnya. Perlu diketahui bahwa Haruhi tidak terlalu pandai berbahasa Negeri Matahari Terbit itu, karena terakhir kali mendengarnya mungkin waktu ia masih lima tahun. Keluarga Matsuzaka untungnya cukup lancar berbahasa Inggris, jadi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Haruhi sendiri berbicara pada bibinya, Larine, menggunakan Bahasa Inggris. Kemana bibinya itu? Larine berjanji akan segera menyusul Haruhi ke Jepang tepat setelah semua urusannya di Kanada selesai, mungkin beberapa hari lagi baru ada. Setidaknya Haruhi sudah memberikan alamat rumahnya ini pada sang bibi.
Ini adalah kali kedua Haruhi menginjak Kediaman Kumayuki. Ia masih ingat betul, pertama kalinya adalah dua-tiga tahun lalu, dan ia sendirian saja. Sekarang, tepat setelah kelulusannya dari Hogwarts, Haruhi diminta untuk menetap di Jepang. Baru dua hari yang lalu ia tiba disini, dan Haruhi tidak sendirian. Kau bisa tebak siapa yang ia bawa ke Jepang, setelah berhasil mendapatkan izin dari keluarga. Well, Haruhi tahu bahwa dia hanya berniat untuk pulang ke rumahnya, itu saja. Tak ada maksud lain. Dan Haruhi setengah berharap kekasihnya itu tetap berada di Jepang, tidak meninggalkannya.
Yeah, benar. Haruhi memang egois.
Dilangkahkannya kaki keluar dari kamarnya di bagian belakang bangunan utama, menuju ruang tengah. Bukan ruangan yang dekat dengan pintu utama, tapi. Ada ruangan lain di dalam sana, dekat dengan halaman belakang, dan cukup luas. Semua jendela serta pintu gesernya dalam keadaan terbuka saat ini, mungkin karena masih pagi. Haruhi menghela nafas begitu menyadari di luar tengah hujan cukup deras, walaupun tidak sampai berangin. Di Jepang sendiri saat ini sedang musim panas, jadi kecenderungan untuk cuaca berangin sangat kecil. Tadi malam saja udaranya cukup panas. Sadar bahwa tuan mudanya terlihat kurang senang, Makiko cepat-cepat menggeser salah satu pintu untuk menutupi ruangan. Wanita di usia kepala tiga itu mengurungkan niatnya ketika Haruhi melarangnya.
"Tidak usah, Makiko. Biarkan saja—," ujarnya seraya menatap keluar, memperhatikan rintik air hujan yang turun, "—aku lebih suka begini," lanjutnya seraya mendekat ke arah meja panjang di tengah ruangan dengan sarapan terhidang di atasnya, duduk kemudian. Di lantai beralaskan tatami kecoklatan. Ala Jepang, dan Haruhi sama sekali tidak menolak untuk ini. Telur mata sapi, nasi, dan sup miso. Ia memang belum begitu terbiasa dengan nasi, namun mulai detik ini harus segera diusahakannya. Bukankah sisa hidupnya kemungkinan akan dihabiskan di tanah leluhurnya? Sementara itu Makiko hanya mengangguk kecil, kemudian meninggalkan tuan mudanya sendirian menuju ke dapur. Entah apa yang dilakukan wanita itu, mungkin mempersiapkan sarapan cadangan seandainya Haruhi tidak suka. Tepat setelah Makiko pergi, Hideyuki muncul dan menghampiri Haruhi yang tengah meneteskan kecap asin ke atas telur mata sapi di piringnya. Pria setengah baya itu tersenyum, kemudian duduk di hadapan Haruhi. Senyumannya terasa amat misterius.
"Sudah mulai terbiasa di rumah barumu ini, Haruhi-sama?" tanyanya seraya mengambil mangkuk berisi nasi dan sumpit di hadapannya, tepat setelah menggumamkan 'Itadakimasu'. Baru Haruhi sadari, ada empat buah sarapan terhidang di atas meja : yang berarti, Haruhi tidak akan sendirian disini. Well, kabar yang menyenangkan, tentu saja. Haruhi tidak pernah suka makan diperhatikan orang lain, apalagi jika hanya dia sendiri yang makan. Ingat beberapa tahun lalu ketika bibinya memaksanya untuk menghabiskan semua masakan buatannya? Itu adalah mimpi terburuknya. Haruhi mengangguk kecil, meletakkan botol kecapnya dan meraih sumpitnya. Ia memejamkan matanya sebentar, berdoa, kemudian mengambil mangkuk nasinya.
"Bisa dibilang begitu, Matsuzaka," jawabnya singkat. Haruhi melirik dua porsi sarapan lainnya yang belum jelas milik siapa, dan ketika akan bertanya pada Hideyuki, sebuah suara kecil terdengar dari koridor bagian dalam, berteriak-teriak memanggil-manggil Tou-san. Dan tak perlu waktu lama bagi Haruhi untuk sadar bahwa kemungkinan besar, Hideyuki-lah yang dicari. Dulu Haruhi juga memanggil ayahnya dengan sebutan itu, dan ketika usianya lima tahun adalah saat terakhirnya bertemu dengan sang ayah. Tragis.
"Tou-san!! Tou-san!!" suara cempreng itu lama kelamaan semakin keras, disusul dengan sosoknya yang semakin mendekat. Seorang gadis muda dalam balutan rok jeans mini selutut dan kaus polo berkerah short-sleeve sudah berada di ruangan dimana Hideyuki dan Haruhi berada saat ini. Gadis itu, Kaoru Matsuzaka, setengah berlari menuju ayahnya dan mengerling Haruhi sekilas, terlihat menelan ludahnya, "Ada yang mencari Haruhi-sama! Dan aku tidak kenal siapa dia!" ujarnya panik, setengah menarik ayahnya untuk berdiri. Haruhi mengernyitkan dahinya, meletakkan sumpitnya dan menatap Kaoru tajam. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Kaoru, dan dengan cepat Hideyuki segera menerjemahkannya, "Ada yang mencari anda, Haruhi-sama."
"Siapa? Wanita?" tanyanya, dan Haruhi setengah berharap kalau itu adalah bibinya. Atau setidaknya, Hime.
"BUKAN!! BUKAN!! Tou-san, kau harus lihat sendiri!" Kaoru memaksa ayahnya untuk bangkit, dan Hideyuki pada akhirnya pun terlihat pasrah dengan tingkah putri semata wayangnya yang sebaya dengan tuan-mudanya, "Kau berlebihan, Kaoru. Mungkin hanya tukang pos atau sejenisnya? Jangan membuat Haruhi-sama panik," ujar ayahnya, namun Kaoru membantah dengan gelengan cukup keras. Hideyuki mengerling tuan-mudanya, mengangkat bahunya, "Akan saya lihat dulu. Haruhi-sama tetap disini saja," ujar Hideyuki. Kaoru menarik sang ayah keluar dari ruangan setengah menyeret, dan meninggalkan Haruhi sendirian lagi di ruangan. Dalam dirinya mulai timbul rasa penasaran cukup besar : Siapa yang mencarinya hingga Kaoru terlihat panik seperti itu?
Haruhi menatap keluar lagi. Hujan masih turun dengan derasnya. Dan entah kenapa hanya terpikir satu orang di otaknya, yang mungkin saja mencarinya dan berdiri di depan sana saat ini.
Shogun?
Ayahmu sudah mati, Haruhi.
Label: 1980, Haruhi, Kumayuki Residence, Places, Summer Holiday
(01.00)
16-4 Sazu-machi, Chofu-shi, Tokyo - Japan
Kediaman Keluarga Besar Kumayuki

Dengan arsitektur serta interior yang mempertahankan ciri-ciri khas Jepang pada Zaman Edo, membuat rumah dengan pagar setinggi 2,5 meter dan luas tanah sekitar 650m² ini sebagai pusat 'perhatian' untuk lingkungan sekitarnya. Bangunan tua itu dipagari tembok berwarna putih-tulang, dengan pintu gerbang berbahan kayu cukup besar di depannya. Gerbang dengan palang kayu serta gembok besar ini berjarak 3 meter ke bangunan utama, dengan jalan setapak kecil berada diantaranya. Halaman depan dipenuhi dengan tumbuhan-tumbuhan rimbun berbagai jenis, semakin memperindah area jalan setapak yang terdiri dari batu-batu pijakan itu.
Akses untuk masuk ke dalam rumah tak hanya dibatasi melalu pintu utama saja, namun di kanan dan kiri jalan setapak ada jalur cepat dengan rumput terhampar, mengarah pada bagian samping bangunan utama serta Tea House di sebelah kiri dan Guest House di sebelah kanan. Keduanya terpisah dari Main House, sementara gudang sendiri berlokasi di belakang Guest House. Secara garis besar, kediaman berumur seratus tahun ini didominasi oleh halaman sementara hanya ada empat bangunan di dalamnya, terdiri dari Main House, Tea House, Dojo, Guest House, dan Warehouse.
Main House adalah tempat tinggal kepala keluarga beserta kedua orangtuanya, anak, dan istrinya, sementara kakak-kakak dan adik-adiknya tinggal di Guest House. Pengacara keluarga, Hideyuki Matsuzaka beserta keluarganya yang menetap sementara hingga masalah warisan keluarga Kumayuki jelas, tinggal di Guest House. Tea House, seperti namanya, adalah tempat diadakannya Upacara Minum Teh ala Jepang (chanoyu), namun sekarang dialih-fungsikan sebagai tempat menerima tamu. Dojo Keluarga Kumayuki sendiri bersifat umum, namun lebih sering digunakan untuk pelatihan Kendo serta Karate. Sejak dialihkan pada Matsuzaka, Dojo ini dibuka untuk pelatihan umum padahal sebelumnya tertutup untuk kalangan keluarga saja. Pengajarnya pun adalah dari kalangan keluarga si pengacara sendiri. Warehouse berisi barang-barang yang sudah tak terpakai lagi, tidak menutup kemungkinan beberapa barang berharga disimpan disini dengan agak tersembunyi. Terdapat gudang bawah tanah di dalamnya, sekarang digunakan untuk menyimpan sake serta persenjataan keluarga, dimana dahulunya berfungsi sebagai bunker perlindungan darurat di zaman perang.
Kediaman Kumayuki didominasi oleh hijaunya tumbuh-tumbuhan, tidak heran jika terlihat asri dan terasa amat sejuk di musim panas serta musim semi. Pepohonan rimbun berada di halaman depan dan belakang, sementara berbagai jenis bunga tumbuh di belakang, tepatnya di halaman tengah persimpangan jalan setapak menuju bangunan lainnya. Bonsai-bonsai milik Nobu Kumayuki, Kepala Keluarga Generasi ke-18 sekaligus kakek dari Haruhi, terlihat berjejer rapi di halaman tengah Main House, berdekatan dengan kolam yang menggenang di bagian bawah koridor luar bangunan utama. Koridor luar tersebut biasanya digunakan sebagai tempat bersantai dan Tsukimi (Acara Melihat Bulan), karena bulan purnama memang paling jelas terlihat disini. Di halaman depan, terdapat sebuah kuil kecil untuk berdoa. Setiap uang receh yang ada di kotak sumbangan kuil ini, akan dialihkan ke kuil besar Chofu-shi.
Tidak ada yang spesial dengan isi dari Main House, tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah pada umumnya di Jepang. Pintu kayu jati tipe geser dua buah sebagai pintu utama, dan begitu masuk ke dalamnya, terdapat area lantai yang 'naik', tanpa tangga. Semacam koridor atas, dan ini memang khas rumah tradisional. Tepat di sebelah kanan pintu, terdapat dua buah rak sepatu berukuran sedang setengah meter. Disini semua jenis sepatu disimpan, dimana rak sebelah kiri untuk sandal dan kanan untuk sepatu. Dahulu, setiap anggota keluarga memiliki tempat satu baris di raknya. Saat ini hanya terisi oleh milik keluarga Matsuzaka.
Masuk jauh ke dalam, berbelok ke kanan, akan terlihat sebuah ruangan yang entah berukuran berapa tatami. Begitu luas, dan ini hanya ruangan pertama. Jauh ke dalam masih banyak ruangan lainnya, dan rata-rata semuanya tidak lepas dari nuansa tradisional serta warna coklat. Ruang depan sendiri adalah ruang tamu, dan bisa juga dikatakan sebagai ruang keluarga utama.
Label: 1980, Intro, Kumayuki Residence, Places
Selasa, 17 Maret 2009 (14.05)
"Nah, Nekai-chan. Habiskan sarapanmu, ya?" Mizu menepuk pelan kepala kucing angoranya―kucing putih dengan bulu lembutnya itu mendongak kepalanya menatap wajah majikannya yang duduk dihadapannya. Nekai mengeong pelan―kemudian kucing jantan itu langsung mengalihkan pandangannya pada mangkuk makanannya yang penuh di pagi hari ini. Sarapan yang akan sangat mengenyangkan, setiap harinya. "Kau sarapan―tentu saja aku harus sarapan," ucap Mizu sumringah melihat Nekai makan dengan lahap. Gadis itu kemudian berdiri dari duduknya di lantai kamar anak perempuan dan berjalan keluar dari kamarnya setelah melihat pada sebuah kalender sihir di kamarnya, untuk memastikan kalau ia tidak salah. Sekarang tanggal 7 Mei 1980. Seperti biasa, hari yang cerah di musim semi. Namun, hari ini cukup spesial baginya.
Yeap―kekasihnya, Haruhi sekarang sudah menginjak usia ke delapan belas tahun. Sangat disayangkan, Mizu tidak membawa kado apapun untuknya. Untuk bertemu dengan Haruhi pun sepertinya cukup sulit. Mereka berdua sama sekali tidak buat janji untuk bertemu di suatu tempat hari ini. Dengan kata lain, kencan. Wajah gadis itu seketika berubah warna kalau ia membayangkan dirinya dengan Haruhi merayakan ulang tahun pemuda Slytherin itu hanya berduaan saja.
Langkah kecilnya yang sudah mencapai Aula Besar berhenti tiba-tiba―menatap tak percaya pada seseorang beremblem Slytherin yang tengah duduk di meja asramanya. Mizu melirik pada adik sepupunya, Sherty yang duduk dihadapannya. Sherty pun menatap pemuda Slytherin itu dengan tatapan heran. Haruhi, kekasihnya berada di meja asramanya. Kedua bola matanya berputar―cukup senang pemuda itu berada di meja asramanya. Lagipula, Profesor Dumbledore tidak melarang murid dari asrama lain menempati meja bukan milik asrama mereka, asalkan tidak membuat keributan saja. Mizu perlahan mendekati Haruhi dengan tersenyum senang.
"Haruhi," sapa Mizu sambil memperlihatkan senyuman manisnya pada kekasihnya itu. "Hai, Sherty," tidak lupa menyapa adik kandung Reid. Mizu segera duduk disamping kiri Haruhi dan kedua bola matanya yang cerah menatap lekat pada wajah Haruhi disampingnya. "Otanjoubi omedettou, Haruhi," seru Mizu mengucapkan selamat ulang tahun pada kekasihnya itu―gadis itu memeluk Haruhi dari samping tanpai ia sadari.
Label: 1980, 7th Year, Birthday, Mizuhime
(14.00)
- Untuk Haruhi Kumayuki
Selamat ulang tahun yang kedelapanbelas, Haruhi-sama.
Izinkan saya selaku pengacara keluarga untuk memberikan ucapan selamat sekaligus menyampaikan berita gembira bagi anda, selaku pewaris sah terakhir dalam garis keturunan Keluarga Kumayuki.
Terhitung sejak usia anda 18 tahun pada 7 Mei 1980, secara hukum anda sah menjadi pewaris resmi seluruh aset kekayaan dan harta Kumayuki. Sebagai satu-satunya keturunan yang masih hidup, Haruhi-sama diharapkan untuk menetap di Jepang setelah menyelesaikan studi di Sekolah Sihir Hogwarts guna mengurus apa yang telah diwariskan pada anda secara menyeluruh, tepatnya Juli 1980. Tentu anda tahu dimana letak kediaman Kumayuki, karena beberapa tahun lalu pernah berkunjung kemari.
Haruhi-sama diharapkan membalas jika telah menerima surat ini.
Regards,
Hideyuki Matsuzaka
Pengacara Resmi Keluarga Kumayuki
Hari ini usianya bertambah satu tahun. Genap delapan belas, dan bagi orang Asia, ini adalah umur menuju kedewasaan. Dua tahun lagi usianya duapuluh tahun. Haruhi kini duduk di ujung Meja Hufflepuff saat sarapan pagi dan sama sekali tidak mengindahkan tatapan-tatapan bertanya terarah padanya itu, melipat surat di tangannya. Dari Matsuzaka, pengacara keluarganya. Berbicara soal warisan, dan Haruhi tidak begitu suka membicarakannya, karena secara tidak langsung ia akan teringat kedua orangtuanya yang sudah tidak ada lagi di sisinya. Terutama ayahnya. Hatinya masih pilu. Kenyataan bahwa ayahnya, Shogun, meninggal begitu saja di Azkaban hingga sekarang masih belum bisa diterimanya. Ia tidak akan percaya sebelum melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sayangnya, mayat sang ayah sudah tak tahu juntrungannya sekarang berada dimana.
Haruhi mengalihkan matanya ke arah pintu aula yang terbuka lebar. Waktu sarapan begini banyak murid-murid yang hilir mudik di Aula Besar, dan tentu sudah bisa ditebak siapa yang dinanti Haruhi pagi ini. Kekasihnya. Gadis berambut panjang itu belum terlihat kehadirannya daritadi. Berada di Meja Hufflepuff rupanya memberikan sensasi tersendiri bagi para murid Musang, mungkin tak terbiasa mendapati salah seorang siswa beremblem Ular berani duduk di tempat ini. Sebisa mungkin tidak dipedulikannya bisikan-bisikan serta celaan di sekitarnya, dan Haruhi mendengus pelan. Silakan bergunjing sesukamu, Musang-musang Tolol Pelahap Kabar Burung.
Kembali pada soal warisan. Yang menjadi perhatiannya saat ini adalah masalah menetap di Jepang. Mungkinkah? Ada baiknya dan ada buruknya. Dalam diri Haruhi sendiri masih tersimpan banyak pertanyaan mengenai silsilah keluarganya, dan mengapa harta keluarga bisa jatuh ke tangannya. Masih ada Larine. Dan Matsuzaka tidak mengenal wanita muda itu. Jika Larine memiliki darah bangsawan Kumayuki, maka bibinya itu secara tidak langsung akan mendapatkan harta keluarga. Namun kenyataan berkata lain. Haruhi berencana mengabari bibinya tepat setelah berbicara pada Hime mengenai ini. Dan tentu saja, ia tidak akan memberitahu gadis itu apa yang dikatakan oleh bibinya musim gugur kemarin.
Biarkan ia mengetahuinya jika saatnya sudah tepat.
Oh, hampir lupa.
Happy birthday to yourself, Haruhi.
Label: 1980, 7th Year, Birthday, Haruhi
Jumat, 13 Maret 2009 (02.25)
Title: Her
Disclaimer: Kumayuki Haruhi punya PMnya, Mizuhime Winterfield punya PMnya, Yusuke Sawada punya gw, beberapa pengajar mapel sihir+chara punya IH+PMnya dan Hogwarts serta segala keajaibannya adalah milik JK Rowling. Buat para PM, maaf jika sudah menghancurkan karakter anda. Song credits : Pat Mohana - Her Eyes, Backstreet Boys - Helpless When She Smiles.
Timeline: Tahun Kelima *nggak punya ide lain*
Rating: T, nggak ada yang berbahaya—hope so.
Perpustakaan
Haruhi mengintip dari balik buku tebalnya. Tepat di hadapannya seorang gadis Asia yang sebaya dengannya, tengah berkutat dengan pena bulunya, tangan kirinya memangku dagu. Sesekali pena bulunya ia mainkan dengan jemari lentiknya, pertanda bahwa ia sedang berpikir dengan keras. Dahinya terlihat berkerut. Haruhi memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu, tidak berkonsentrasi pada bukunya. Tampaknya yang sedang diperhatikan menyadari ada yang menatapnya sehingga gadis Asia itu mengerling pada Haruhi, dan ditanggapi pemuda itu dengan panik—kembali menekuni bukunya. Mizu tersenyum pada Haruhi, meletakkan kedua tangannya di atas meja,
“Ada yang ingin kau tanyakan, Haruhi?”
“Eh? Ti-tidak, tidak ada, Mizu—,” ucapnya tergagap dan menidurkan bukunya di meja, tidak menatap gadis itu sama sekali. Salah tingkah. Matanya berusaha ia tujukan pada buku, bahkan sekarang karena panik Mizu menyadari sedang diperhatikan dirinya, Haruhi membalik-balikkan halaman bukunya dengan tergesa. Seperti melakukan sesuatu yang salah. Mizu terkekeh pelan, menggelengkan kepalanya—merasa aneh dengan tingkah Haruhi yang tidak seperti biasanya. Gadis itu tersenyum lagi,
“Jangan malu untuk bertanya, oke? Kita disini untuk belajar bersama, dan aku tidak keberatan untuk membantumu,” Mizu mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis, tidak mengalihkan tatapannya pada Haruhi sementara pemuda itu menengadahkan kepalanya—
—mata mereka bertemu.
Bola mata jernih milik Mizu dan bola mata hitam terang milik Haruhi. Saling beradu pandang.
Her eyes, that's where hope lies
That's where blue skies
Meet the sunrise
Dan jantung Haruhi berdetak dua kali lipat lebih kencang dari biasanya—hanya ketika tatapannya dan gadis itu bertemu. Mengapa getaran itu terasa lagi dalam dirinya?
Secepat mungkin ia mengalihkan tatapannya, kembali ke buku Arithmancy-nya karena Yusuke berjalan mendekati mereka berdua dengan setumpuk buku dalam genggamannya. Pemuda berkulit gelap itu meletakkan buku-bukunya di depan Mizu dan Haruhi, menimbulkan suara berisik dan membuat semua orang di perpustakaan menatap sinis padanya. Yusuke seperti biasa hanya nyengir lebar, kemudian duduk di sebelah Mizu. Melihat itu Haruhi merutuki dirinya sendiri kenapa tidak sejak awal saja ia duduk di sebelah Mizu—tidak rela jika gadis Asia tersebut berada di sebelah sahabatnya. Cemburu? Entahlah, yang jelas Haruhi tidak suka Mizu dekat dengan laki-laki lain—terlebih lagi dengan makhluk bernama Mendez. Buang dia ke laut jauh-jauh kalau perlu agar tidak mendekati Mizuhime Winterfield lagi. Good idea.
“Yucchan, apa ini?” tanya Mizu tertawa pelan sekaligus heran, menepuk-nepuk tumpukan buku yang ada di hadapannya. Haruhi mengernyitkan dahinya, melepaskan pandanganya dari buku dan menggeser tumpukan buku yang menghalangi pandangannya untuk melihat Mizu.
Yusuke nyengir lebar, menatap Mizu dan Haruhi bergantian, “Buku yang kita butuhkan untuk belajar hari ini, tentu saja! Kamus Besar Rune Kuno, Semuanya Mengenai Airthmancy, Hewan-hewan Menakjubkan dan Dimana Kau Bisa Menemukannya, dan—aku lupa apalagi,” ujar Yusuke menggarukkan kepalanya, mengernyitkan dahinya dan menunjuk sisi samping buku-buku yang ada di hadapannya, mencari judul buku apalagi yang ditemukannya.
Haruhi memutar bola matanya, “Kita tidak perlu buku sebanyak itu. Memangnya kau bisa menjamin semuanya akan selesai dibaca hari ini juga?” ujarnya dengan nada heran disertai dengusan pelan, membalikkan halaman buku yang dibacanya. Matanya mengerling pada sosok Mizu yang menahan tawa ketika berkutat dengan pekerjaannya lagi, membiarkan Yusuke menganga seakan menyetujui perkataan Haruhi.
“Jadi menurut kalian usahaku tadi itu—sia-sia?”
Mizu tertawa kecil, menutupnya dengan tangan. Diulasnya sebuah senyuman, menepuk pundak Yusuke dengan tangan kirinya, “Tidak, Yucchan. Usahamu tidak sia-sia. Ya, kan, Haruhi?” gadis berambut panjang itu berusaha menghibur Yusuke, menanyakan pendapat pada Haruhi—dengan senyuman manis.
“Err—,” Haruhi tergagap, “—lihat nanti sajalah,” ujarnya pelan dan kembali menatap bukunya. Kembali salah tingkah.
She smiles.
***
Setelah Kelas Ramuan
Pemuda Asia dengan dasi Slytherin di kerahnya itu—Haruhi—menarik nafas panjang, menyemangati dirinya sendiri. Ia berbalik ke arah pintu kelas yang masih terbuka, memastikan kalau yang dicarinya masih ada di dalam—dan memang benar. Gadis itu masih ada di dalam, membereskan semua barangnya untuk bersiap keluar kelas. Profesor Slughorn menyapa gadis itu, kemudian berjalan keluar kelas dan hampir menabrak Haruhi. Pria tersebut hanya melempar pandangan tajam pada murid asramanya, kemudian berjalan menyusuri lorong dengan buku-buku di tangan kirinya. Haruhi kembali mengintip ke dalam kelas, menarik nafas dalam dan bersiap melangkah masuk ke dalam—namun segera diurungkan karena melihat ada orang lain di samping gadis itu.
Mendez.
“Kembali ke asrama, Winterfiled?” senyum Mendez pada Mizu—membuat Haruhi ingin menonjok teman seasramanya itu saat ini juga dan menendangnya jauh-jauh dari Mizu. Jauhi Mizu, Mendez!
“Sepertinya tidak, Mendez. Aku harus ke ke Lapangan Quidditch, ada yang harus kuberikan pada Madam Hooch,” ujar Mizu malas pada pemuda di hadapannya, tangannya melipat perkamen-perkamen yang berantakan miliknya dan menyelipkannya ke dalam tas. Tepat ketika mengambil tasnya dan akan melangkah keluar, Mendez menghalangi jalannya. Mizu menghela nafas berat, merasa agak kesal dengan perlakuan Mendez,
“Maaf Mendez, bisakah kau minggir? Aku sedang terburu-buru sekarang—”
“Kau masih marah padaku?” tanya Mendez lirih, namun suaranya masih dapat terdengar oleh Haruhi yang berada di luar kelas. Penasaran, pemuda Asia itu berdiri depan pintu namun dirinya menempel di sisi kiri tembok luar—mengintip dan menajamkan telinganya untuk mendengar setiap kata pembicaraan Mizu-Mendez.
“Kau tahu apa jawabanku, Mendez,” ujar Mizu ketus, berusaha melewati Mendez namun pemuda itu masih terus menghalanginya, bahkan sekarang meraih pergelangan tangan gadis itu, berusaha menahan keras agar Mizu tidak pergi sebelum penjelasannya selesai. Apa yang dilakukan Mendez membuat Haruhi terkejut dan hampir saja ia berjalan masuk, benar-benar ingin membanting Mendez karena begitu berani menyentuh Mizu. Tentu saja niat tersebut diurungkannya, Haruhi berusaha menahan diri dan sekarang kembali berdiri di luar kelas—berusaha sekeras mungkin agar kedua anak yang berada di dalam tidak menyadari kehadirannya. Atau setidaknya, tidak sadar bahwa ada yang sedang menguping pembicaraan mereka saat ini.
“Dengarkan aku dulu—sudah kubilang yang kemarin itu—tidak sengaja—,” lirih Mendez, semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan Mizu. Gadis itu meronta sekuat tenaga, menepis genggaman Mendez dengan kasar dan menatap tajam pemuda itu—di pelupuk matanya sudah tergenang air mata,
“Sengaja atau tidak, Mendez, kau tahu—aku tidak suka!” ujarnya kasar lalu berlari melewati pemuda dengan rambut cokelatnya itu, meninggalkan kelas terburu-buru dan tidak sadar bahwa Haruhi berada di luar. Mendez sendiri berdecak kesal, mengacak-ngacak rambutnya dan menendang kasar salah satu meja di dalam. Haruhi hanya terdiam, tidak mampu berkomentar apa-apa karena secara garis besar ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ditolehkannya kepala, memandang Mizu yang semakin menjauh dari kelas ramuan—menuju ke lantai atas. Terlihat bahunya naik turun dan lengannya bergerak, seperti menghapus sesuatu di wajahnya. Sempat terdengar isak tangis pelan ketika Mizu meninggalkan kelas.
Kejar dia, Haruhi. Tidakkah kau dengar dia menangis?
***
Halaman Kastil
Sosoknya tak ada dimana-mana. Haruhi menghentikan larinya, terengah-engah dan menempelkan tangannya di atas lutut—kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencari gadis yang dikejarnya. Entah kenapa larinya begitu cepat, dan—
—itu dia.
Gadis Asia dengan rambut hitam panjangnya itu duduk di salah satu bangku, tangannya menutup mulut dan bahunya naik turun. Haruhi berjalan mendekat, mengatur nafasnya dan menelan ludah, berusaha meyakinkan diri bahwa Mizu tidak menangis. Dan itulah ketakutan terbesarnya. Ia berdiri tepat di hadapan Mizu yang kini menundukkan kepala, mendengar suara isak tangisnya—lagi. Pada kenyataannya, gadis ini memang tengah menangis.
Kau akan hancur di tanganku, Mendez! janjinya pada diri sendiri. Bisa dipastikan kalau pemuda berwajah latin itu tak akan selamat di tangan Haruhi.
“Mizu?” lirih Haruhi pelan, kini membungkuk dan duduk di sebelah gadis itu, wajahnya menyiratkan kecemasan. Wajah yang tak pernah ditunjukkan Haruhi pada siapapun sebelumnya. Mizu menoleh—pipi mulusnya telah dibasahi air mata yang coba dihapusnya—agak terkejut menemukan Haruhi berada di sebelahnya. Gadis itu berhenti menangis namun masih terisak—menghapus air matanya dengan jemarinya, tersenyum lemah pada Haruhi,
“Hai, Haruhi—,” lirihnya pelan, masih berusaha meghilangkan isakannya. Haruhi mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau gelap dan memberikannya ke gadis sebelahnya. Kedua bola mata hitam terangnya masih menatap Mizu dengan cemas. Mizu tersenyum lemah lagi, mengambil sapu tangan milik Haruhi dan menyapukannya ke wajah—untuk membersihkan air matanya.
“Arigato—”
”Mendez berbuat macam-macam padamu?” ujar Haruhi datar—walau sebenarnya ia cemas setengah mati—tetap tidak melepaskan padanganya dari gadis hufflepuff di sebelahnya. Mizu mendongkkan kepalanya, menutup kedua matanya dan menarik nafas dalam—sapu tangan Haruhi berada dalam genggamannya. Gadis itu tersenyum lemah lagi,
“Apa maksudmu?” lirih Mizu, berusaha mengeluarkan nada ceria dalam perkataannya, “Mendez tidak berbuat apapun padaku—”
“Mizu,” Haruhi memotong perkataan sahabatnya dengan tegas, mengalihkan tatapannya sekarang pada sekumpulan anak-anak yang tengah bermain basket di tengah halaman, “aku mendengarnya,” lanjutnya singkat kemudian terdiam, menautkan kedua tangannya dan meletakkannya di pangkuan, matanya mengarah ke rerumputan yang berada tepat di bawahnya. Mizu jelas terkejut dengan apa yang keluar dari mulut pemuda di sebelahnya, tidak menyangka bahwa ada yang mendengar pertengakaran kecilnya dengan Mendez di bawah tanah barusan. Dipasangnya senyuman lemah lagi pada Haruhi, namun tidak sedikit pun menatap pemuda itu,
“Begitulah—,” jawabnya singkat, dan sama sekali tidak memuaskan rasa penasaran Haruhi. Baru akan memaksa gadis itu berbicara lebih jauh lagi, Mizu kembali membuka suara dan berucap dengan nada cukup cepat.
“Dia menciumku. Bibir.”
Titik. Tidak ada koma, dan tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Mizu setelah itu. Pemuda yang ada di sebelahnya terpaku ketika mendengarnya, reflek menoleh dan menatap gadis di sebelahnya tidak percaya. Jadi Mendez menciumnya? Dan Haruhi sekarang merasa bahwa para Cupid tengah melemparkan ribuan granat padanya, ditambah dengan ribuan panah kutukan tengah dilancarkan padanya. Suhu tubuhnya memanas, kedua tangannya mengepal dan mengeras—pikirannya melayang pada beberapa list rencana yang akan dilakukannya untuk membunuh Mendez secara cepat. Beraninya pemuda itu mencium Mizu!
“Dan aku—tidak menyukainya,” lirih Mizu pelan selang lima detik keheningannya dengan Haruhi. Pemuda itu terkejut, mengangkat alisnya dan menatap Mizu heran. Apa maksudnya kalau Mizu tidak menyukai Mendez? Sudut relung hatinya sedikit berbunga, merasakan adanya sedikit harapan.
“Mendez menyukaimu, dan aku tahu kau juga menyukainya,” ujar Haruhi datar tanpa sadar bahwa yang dikatakannya barusan amat-sangat-sok-tahu, merutuki dirinya sendiri dua detik kemudian. Mengapa dirinya berbicara seperti itu?!
“Tidak, Haruhi—,” Mizu menarik nafas dalam, sekarang air matanya telah kering dan tidak terdengar satupun isakan darinya. Gadis itu menarik nafas dalam, menoleh pada Haruhi dan memberikan tatapan serius, “—sejak ia menciumku, aku membencinya.”
Perempuan memang sulit dimengerti.
“Berarti kau menyukainya, kan? Sebelum—yeah, itu,” deham Haruhi pelan berusaha mengalihkan dirinya dari tatapan mata jernih Mizu, “bukankah berarti kalian saling menyukai?” lanjut Haruhi, ditanggapi gadis itu dengan tawa pelan dan gelengan lemah. Diangkatnya saputangan milik Haruhi dan menatapnya, menghela nafas panjang,
“Kalau ia menyukaiku, ia tidak akan melakukan—itu,” lirihnya datar, menempelkan saputangan Haruhi ke wajahnya. Tidak terdengar isakan maupun tangisan dari Mizu. Sempat hening beberapa detik, dan keheningan itu terputus oleh Haruhi yang membelai kepala gadis itu sekarang. Entah apa maksudnya, bahkan Haruhi sendiri merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya ini. Benar atau tidak. Pemuda itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, matanya megarah ke depan, hanya sebagai pengalihan diri agar tidak menatap Mizu yang kini mengangkat kepalanya dan memasang ekspresi keheranan. Pasti gadis itu berpikir bahwa Haruhi hari ini cukup aneh. Bukan seperti dirinya.
“Aku tidak akan melakukannya padamu—,” lirih Haruhi pelan, dan segera menyambungnya begitu sadar bahwa yang dikatakannya amat-sangat-bodoh, “—jika aku Mendez,” sambungnya dan menurunkan tangannya dari kepala Mizu. Wajah Haruhi kini datar, tanpa ekspresi—walau sebenarnya sekarang ia cemas luar biasa dan panik, jantungnya bergejolak dua kali lipat lebih dari biasanya, belum lagi dirinya berharap Mizu tidak mendengar kata-katanya barusan. Unfortunately, she heard it.
“Aku tahu—,” lirihnya pelan diikuti senyuman penuh arti, dan membuat Haruhi tidak bisa berkata apapun mendengarnya. Entah apa maksud senyuman dan perkataan Mizu barusan, hanya gadis itu yang tahu.
Bolehkah Haruhi sedikit berharap pada gadis di sebelahnya ini?
“Ah~ Sudah jam berapa ini? Madam Hooch pasti menantiku,” ujar Mizu pada akhirnya, memecah keheningan yang entah sudah berapa kalinya terjadi pada dirinya dan Haruhi saat ini. Gadis Asia dengan lencana keemasan tersemat di jubahnya itu berdiri dari duduknya, merenggangkan lengannya dan menarik nafas dalam. Sementara itu Haruhi masih berada di bangkunya, mengerling Mizu dengan jantung yang semakin berpacu cepat—otaknya masih berpikir keras apa arti dari ucapan Mizu barusan. Pemuda itu mengalihkan pandangannya ketika Mizu berbalik dan menunjukkan saputangan hijau gelap milik Haruhi, “Arigatou, Haruhi. Saputanganmu akan kucuci dulu sebelum dikembalikan,” ucapnya dan memasukkan saputangan pemuda itu ke dalam tasnya. Haruhi hanya mengangguk kecil, kemudian berdiri dan menatap gadis di depannya. Hanya sekilas, karena ketika Mizu balik menatapnya Haruhi kembali beralih pada rerumputan di bawahnya,
“Kutemani,” ujarnya pelan, tidak menatap Mizu namun sesekali meliriknya. Mizu sekali lagi tersentak—entah sudah berapa kali ia mendapatkan banyak kejutan dari seorang Haruhi hari ini.
“Tidak apa-apa?” tanya Mizu dengan nada khawatir, mungkin saja setelah ini Haruhi ada urusan lain dan tidak perlu ia menemani Mizu kalau memang begitu. Namun pemuda di hadapannya itu menggangguk pelan tanpa bicara—melirik Mizu, dan gadis Asia itu menanggapi Haruhi dengan senyuman manis.
“Arigato,” ujarnya pelan, dan Haruhi melihat senyumannya.
She smiles again.
I'm helpless when she smiles
When she looks at me
I get so weak
Dan tatapannya itu, membuat Haruhi tidak bisa berbicara apapun kali ini selain mengangguk kecil.
Masih ada harapan.
Label: 5th Year, Fanfiction, One-shot
the song

Artist: Hideaki Tokunaga
Album Name: Vocalist 3
Release Type: Album
Release Date: 2007.08.15
Genre: J-Pop, Vocal
Tracklist:
01 KOI NI OCHITE "FALL IN LOVE"
02 PRIDE
03 MOMOIRO TOIKI
04 WAKARE UTA
05 YASASHII KISS WO SHITE
06 TIME GOES BY
07 TASOGARE MY LOVE
08 GENKI WO DASHITE
09 ENDLESS STORY
10 MACHIBUSE
11 TSUKI NO SHIZUKU
12 MAYOI MICHI
13 CAN YOU CELEBRATE?
*Info taken from here.
the face
藤原竜也
(ふじわら たつや)
Fujiwara Tatsuya
Actor
Born in Chichibu, Saitama, Japan, 1982-May-15
178cm/55kg
Taurus
Blood type A
He is famous for acting the part of Shuya Nanahara in the controversial 2000 film Battle Royale,
and continues the character as a leader of the Wild Seven in the sequel, Battle Royale II: Requiem.
He stars as Light Yagami, the leading role in Death Note and Death Note: The Last Name,
films based on the manga of the same name.
He is a Seibu Lions fan.
He has also worked with director Takashi Miike for Sabu.
In theatrical works, he is known for collaborating with Yukio Ninagawa,
one of the most influential directors in Japan. He started his career in theatre, before screen debut,
with the title role of Shintoku-maru, the boy who has an obsessive relationship with his step mother.
He has also acted in Shakespeare plays, including Hamlet and Romeo and Juliet.
credits
designer: & - nameless
part of the basecodes : DancingSheep
inspiration : /!nsomnia®
blog hosting : Blogger
not on plot
PUPPETMASTER
Yusuke Sawada
Karasuma Rei
Nathan Kehl Harvarth
Sienna Imanuela Duske
Marion Elianthe Janette
Yuka Ueda
Satoshi Takayama
Arya Singh
ongoing plot
Mizuhime Winterfield
plot archives
+ Asakusa, Tokyo - Japan — Pt. 1.2 (Mizu)
+ Amos Diggory and Evania Goldwin's Wedding - Devon ...
+ Asakusa, Tokyo - Japan — Pt.1.1 (Haruhi)
+ X-mas Night — Pt. 1 (Mizu-Ken)
+ X-mas Night — Pt. 1 (Haruhi)
+ Tanjoubi no Kiseki — Pt. 1.1 (Mizu)
+ Biodata Karakter
+ Strangers — Pt. 1.3 (Osamu-Haruhi)
+ Strangers — Pt. 1.2 (Mizu)
+ Strangers — Pt. 1.2 (Osamu)
Posting Komentar