ENDLESS story
profile

熊雪 孟ひ(と)
Haruhi(to) Kumayuki
Haruhi, Haru-chan
Generasi ke-21 dari silsilah resmi Keluarga Penyihir Pureblood Kumayuki,
yang merupakan urutan kedua keluarga penyihir tertua di Jepang.
Pureblood (tak ada seorangpun anggota keluarga yang muggleborn maupun
Tinggi badan 172cm dengan berat 56kg. Cukup tinggi untuk orang Asia, namun pendek untuk orang Eropa.
Berambut hitam agak berantakan seleher, bola mata berwarna hitam terang agak sedikit sipit, hidung agak mancung, dan bibir agak tipis.
Memiliki gingsul di gigi kiri yang akan terlihat jika tertawa.
Lahir di Kanada, tanggal 7 Mei tahun 1962,
tak pernah menginjakkan kakinya di Negeri Sakura tersebut hingga musim panas tahun 1978.
Tongkat sihir pertamanya dipatahkan orang ketika baru pertama kali menerima dan menggunakannya.
Willow wood 34 cm, inti ekor Chimaera dan nadi Naga Peruvian Tooth adalah tongkat sihirnya hingga saat ini.
Terdaftar di Hogwarts sebagai murid Asrama Slytherin, angkatan tahun 1974.
Ambisius, pendiam, datar dan ketus.
Bicara seperlunya dan tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya.
Agak tertutup pada orang-orang yang tak dikenalnya dekat.
Sorot matanya jika sedang seorang diri seolah kesepian,
namun tak pernah memperlihatkannya di depan orang-orang.
Tidak pernah berkata tulus selain kepada bibinya, Larine Kumayuki, dan kekasihnya, Mizuhime Winterfield.
Mudah cemburu dan terpancing emosinya.
Menganggap Ares Mendez de Locksley sebagai rival cinta terberatnya.
Visualisasi Haruhi Kumayuki : Tatsuya Fujiwara. Foto diambil dari International Fansite, RDTF.
Semua yang tercantum disini adalah fiktif dan hanya untuk kepentingan IH-RPG, tidak pernah ada eksistensinya di dunia nyata.
Jumat, 13 Maret 2009 (02.25)
Title: Her
Disclaimer: Kumayuki Haruhi punya PMnya, Mizuhime Winterfield punya PMnya, Yusuke Sawada punya gw, beberapa pengajar mapel sihir+chara punya IH+PMnya dan Hogwarts serta segala keajaibannya adalah milik JK Rowling. Buat para PM, maaf jika sudah menghancurkan karakter anda. Song credits : Pat Mohana - Her Eyes, Backstreet Boys - Helpless When She Smiles.
Timeline: Tahun Kelima *nggak punya ide lain*
Rating: T, nggak ada yang berbahaya—hope so.
Perpustakaan
Haruhi mengintip dari balik buku tebalnya. Tepat di hadapannya seorang gadis Asia yang sebaya dengannya, tengah berkutat dengan pena bulunya, tangan kirinya memangku dagu. Sesekali pena bulunya ia mainkan dengan jemari lentiknya, pertanda bahwa ia sedang berpikir dengan keras. Dahinya terlihat berkerut. Haruhi memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu, tidak berkonsentrasi pada bukunya. Tampaknya yang sedang diperhatikan menyadari ada yang menatapnya sehingga gadis Asia itu mengerling pada Haruhi, dan ditanggapi pemuda itu dengan panik—kembali menekuni bukunya. Mizu tersenyum pada Haruhi, meletakkan kedua tangannya di atas meja,
“Ada yang ingin kau tanyakan, Haruhi?”
“Eh? Ti-tidak, tidak ada, Mizu—,” ucapnya tergagap dan menidurkan bukunya di meja, tidak menatap gadis itu sama sekali. Salah tingkah. Matanya berusaha ia tujukan pada buku, bahkan sekarang karena panik Mizu menyadari sedang diperhatikan dirinya, Haruhi membalik-balikkan halaman bukunya dengan tergesa. Seperti melakukan sesuatu yang salah. Mizu terkekeh pelan, menggelengkan kepalanya—merasa aneh dengan tingkah Haruhi yang tidak seperti biasanya. Gadis itu tersenyum lagi,
“Jangan malu untuk bertanya, oke? Kita disini untuk belajar bersama, dan aku tidak keberatan untuk membantumu,” Mizu mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis, tidak mengalihkan tatapannya pada Haruhi sementara pemuda itu menengadahkan kepalanya—
—mata mereka bertemu.
Bola mata jernih milik Mizu dan bola mata hitam terang milik Haruhi. Saling beradu pandang.
Her eyes, that's where hope lies
That's where blue skies
Meet the sunrise
Dan jantung Haruhi berdetak dua kali lipat lebih kencang dari biasanya—hanya ketika tatapannya dan gadis itu bertemu. Mengapa getaran itu terasa lagi dalam dirinya?
Secepat mungkin ia mengalihkan tatapannya, kembali ke buku Arithmancy-nya karena Yusuke berjalan mendekati mereka berdua dengan setumpuk buku dalam genggamannya. Pemuda berkulit gelap itu meletakkan buku-bukunya di depan Mizu dan Haruhi, menimbulkan suara berisik dan membuat semua orang di perpustakaan menatap sinis padanya. Yusuke seperti biasa hanya nyengir lebar, kemudian duduk di sebelah Mizu. Melihat itu Haruhi merutuki dirinya sendiri kenapa tidak sejak awal saja ia duduk di sebelah Mizu—tidak rela jika gadis Asia tersebut berada di sebelah sahabatnya. Cemburu? Entahlah, yang jelas Haruhi tidak suka Mizu dekat dengan laki-laki lain—terlebih lagi dengan makhluk bernama Mendez. Buang dia ke laut jauh-jauh kalau perlu agar tidak mendekati Mizuhime Winterfield lagi. Good idea.
“Yucchan, apa ini?” tanya Mizu tertawa pelan sekaligus heran, menepuk-nepuk tumpukan buku yang ada di hadapannya. Haruhi mengernyitkan dahinya, melepaskan pandanganya dari buku dan menggeser tumpukan buku yang menghalangi pandangannya untuk melihat Mizu.
Yusuke nyengir lebar, menatap Mizu dan Haruhi bergantian, “Buku yang kita butuhkan untuk belajar hari ini, tentu saja! Kamus Besar Rune Kuno, Semuanya Mengenai Airthmancy, Hewan-hewan Menakjubkan dan Dimana Kau Bisa Menemukannya, dan—aku lupa apalagi,” ujar Yusuke menggarukkan kepalanya, mengernyitkan dahinya dan menunjuk sisi samping buku-buku yang ada di hadapannya, mencari judul buku apalagi yang ditemukannya.
Haruhi memutar bola matanya, “Kita tidak perlu buku sebanyak itu. Memangnya kau bisa menjamin semuanya akan selesai dibaca hari ini juga?” ujarnya dengan nada heran disertai dengusan pelan, membalikkan halaman buku yang dibacanya. Matanya mengerling pada sosok Mizu yang menahan tawa ketika berkutat dengan pekerjaannya lagi, membiarkan Yusuke menganga seakan menyetujui perkataan Haruhi.
“Jadi menurut kalian usahaku tadi itu—sia-sia?”
Mizu tertawa kecil, menutupnya dengan tangan. Diulasnya sebuah senyuman, menepuk pundak Yusuke dengan tangan kirinya, “Tidak, Yucchan. Usahamu tidak sia-sia. Ya, kan, Haruhi?” gadis berambut panjang itu berusaha menghibur Yusuke, menanyakan pendapat pada Haruhi—dengan senyuman manis.
“Err—,” Haruhi tergagap, “—lihat nanti sajalah,” ujarnya pelan dan kembali menatap bukunya. Kembali salah tingkah.
She smiles.
***
Setelah Kelas Ramuan
Pemuda Asia dengan dasi Slytherin di kerahnya itu—Haruhi—menarik nafas panjang, menyemangati dirinya sendiri. Ia berbalik ke arah pintu kelas yang masih terbuka, memastikan kalau yang dicarinya masih ada di dalam—dan memang benar. Gadis itu masih ada di dalam, membereskan semua barangnya untuk bersiap keluar kelas. Profesor Slughorn menyapa gadis itu, kemudian berjalan keluar kelas dan hampir menabrak Haruhi. Pria tersebut hanya melempar pandangan tajam pada murid asramanya, kemudian berjalan menyusuri lorong dengan buku-buku di tangan kirinya. Haruhi kembali mengintip ke dalam kelas, menarik nafas dalam dan bersiap melangkah masuk ke dalam—namun segera diurungkan karena melihat ada orang lain di samping gadis itu.
Mendez.
“Kembali ke asrama, Winterfiled?” senyum Mendez pada Mizu—membuat Haruhi ingin menonjok teman seasramanya itu saat ini juga dan menendangnya jauh-jauh dari Mizu. Jauhi Mizu, Mendez!
“Sepertinya tidak, Mendez. Aku harus ke ke Lapangan Quidditch, ada yang harus kuberikan pada Madam Hooch,” ujar Mizu malas pada pemuda di hadapannya, tangannya melipat perkamen-perkamen yang berantakan miliknya dan menyelipkannya ke dalam tas. Tepat ketika mengambil tasnya dan akan melangkah keluar, Mendez menghalangi jalannya. Mizu menghela nafas berat, merasa agak kesal dengan perlakuan Mendez,
“Maaf Mendez, bisakah kau minggir? Aku sedang terburu-buru sekarang—”
“Kau masih marah padaku?” tanya Mendez lirih, namun suaranya masih dapat terdengar oleh Haruhi yang berada di luar kelas. Penasaran, pemuda Asia itu berdiri depan pintu namun dirinya menempel di sisi kiri tembok luar—mengintip dan menajamkan telinganya untuk mendengar setiap kata pembicaraan Mizu-Mendez.
“Kau tahu apa jawabanku, Mendez,” ujar Mizu ketus, berusaha melewati Mendez namun pemuda itu masih terus menghalanginya, bahkan sekarang meraih pergelangan tangan gadis itu, berusaha menahan keras agar Mizu tidak pergi sebelum penjelasannya selesai. Apa yang dilakukan Mendez membuat Haruhi terkejut dan hampir saja ia berjalan masuk, benar-benar ingin membanting Mendez karena begitu berani menyentuh Mizu. Tentu saja niat tersebut diurungkannya, Haruhi berusaha menahan diri dan sekarang kembali berdiri di luar kelas—berusaha sekeras mungkin agar kedua anak yang berada di dalam tidak menyadari kehadirannya. Atau setidaknya, tidak sadar bahwa ada yang sedang menguping pembicaraan mereka saat ini.
“Dengarkan aku dulu—sudah kubilang yang kemarin itu—tidak sengaja—,” lirih Mendez, semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan Mizu. Gadis itu meronta sekuat tenaga, menepis genggaman Mendez dengan kasar dan menatap tajam pemuda itu—di pelupuk matanya sudah tergenang air mata,
“Sengaja atau tidak, Mendez, kau tahu—aku tidak suka!” ujarnya kasar lalu berlari melewati pemuda dengan rambut cokelatnya itu, meninggalkan kelas terburu-buru dan tidak sadar bahwa Haruhi berada di luar. Mendez sendiri berdecak kesal, mengacak-ngacak rambutnya dan menendang kasar salah satu meja di dalam. Haruhi hanya terdiam, tidak mampu berkomentar apa-apa karena secara garis besar ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ditolehkannya kepala, memandang Mizu yang semakin menjauh dari kelas ramuan—menuju ke lantai atas. Terlihat bahunya naik turun dan lengannya bergerak, seperti menghapus sesuatu di wajahnya. Sempat terdengar isak tangis pelan ketika Mizu meninggalkan kelas.
Kejar dia, Haruhi. Tidakkah kau dengar dia menangis?
***
Halaman Kastil
Sosoknya tak ada dimana-mana. Haruhi menghentikan larinya, terengah-engah dan menempelkan tangannya di atas lutut—kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencari gadis yang dikejarnya. Entah kenapa larinya begitu cepat, dan—
—itu dia.
Gadis Asia dengan rambut hitam panjangnya itu duduk di salah satu bangku, tangannya menutup mulut dan bahunya naik turun. Haruhi berjalan mendekat, mengatur nafasnya dan menelan ludah, berusaha meyakinkan diri bahwa Mizu tidak menangis. Dan itulah ketakutan terbesarnya. Ia berdiri tepat di hadapan Mizu yang kini menundukkan kepala, mendengar suara isak tangisnya—lagi. Pada kenyataannya, gadis ini memang tengah menangis.
Kau akan hancur di tanganku, Mendez! janjinya pada diri sendiri. Bisa dipastikan kalau pemuda berwajah latin itu tak akan selamat di tangan Haruhi.
“Mizu?” lirih Haruhi pelan, kini membungkuk dan duduk di sebelah gadis itu, wajahnya menyiratkan kecemasan. Wajah yang tak pernah ditunjukkan Haruhi pada siapapun sebelumnya. Mizu menoleh—pipi mulusnya telah dibasahi air mata yang coba dihapusnya—agak terkejut menemukan Haruhi berada di sebelahnya. Gadis itu berhenti menangis namun masih terisak—menghapus air matanya dengan jemarinya, tersenyum lemah pada Haruhi,
“Hai, Haruhi—,” lirihnya pelan, masih berusaha meghilangkan isakannya. Haruhi mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau gelap dan memberikannya ke gadis sebelahnya. Kedua bola mata hitam terangnya masih menatap Mizu dengan cemas. Mizu tersenyum lemah lagi, mengambil sapu tangan milik Haruhi dan menyapukannya ke wajah—untuk membersihkan air matanya.
“Arigato—”
”Mendez berbuat macam-macam padamu?” ujar Haruhi datar—walau sebenarnya ia cemas setengah mati—tetap tidak melepaskan padanganya dari gadis hufflepuff di sebelahnya. Mizu mendongkkan kepalanya, menutup kedua matanya dan menarik nafas dalam—sapu tangan Haruhi berada dalam genggamannya. Gadis itu tersenyum lemah lagi,
“Apa maksudmu?” lirih Mizu, berusaha mengeluarkan nada ceria dalam perkataannya, “Mendez tidak berbuat apapun padaku—”
“Mizu,” Haruhi memotong perkataan sahabatnya dengan tegas, mengalihkan tatapannya sekarang pada sekumpulan anak-anak yang tengah bermain basket di tengah halaman, “aku mendengarnya,” lanjutnya singkat kemudian terdiam, menautkan kedua tangannya dan meletakkannya di pangkuan, matanya mengarah ke rerumputan yang berada tepat di bawahnya. Mizu jelas terkejut dengan apa yang keluar dari mulut pemuda di sebelahnya, tidak menyangka bahwa ada yang mendengar pertengakaran kecilnya dengan Mendez di bawah tanah barusan. Dipasangnya senyuman lemah lagi pada Haruhi, namun tidak sedikit pun menatap pemuda itu,
“Begitulah—,” jawabnya singkat, dan sama sekali tidak memuaskan rasa penasaran Haruhi. Baru akan memaksa gadis itu berbicara lebih jauh lagi, Mizu kembali membuka suara dan berucap dengan nada cukup cepat.
“Dia menciumku. Bibir.”
Titik. Tidak ada koma, dan tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Mizu setelah itu. Pemuda yang ada di sebelahnya terpaku ketika mendengarnya, reflek menoleh dan menatap gadis di sebelahnya tidak percaya. Jadi Mendez menciumnya? Dan Haruhi sekarang merasa bahwa para Cupid tengah melemparkan ribuan granat padanya, ditambah dengan ribuan panah kutukan tengah dilancarkan padanya. Suhu tubuhnya memanas, kedua tangannya mengepal dan mengeras—pikirannya melayang pada beberapa list rencana yang akan dilakukannya untuk membunuh Mendez secara cepat. Beraninya pemuda itu mencium Mizu!
“Dan aku—tidak menyukainya,” lirih Mizu pelan selang lima detik keheningannya dengan Haruhi. Pemuda itu terkejut, mengangkat alisnya dan menatap Mizu heran. Apa maksudnya kalau Mizu tidak menyukai Mendez? Sudut relung hatinya sedikit berbunga, merasakan adanya sedikit harapan.
“Mendez menyukaimu, dan aku tahu kau juga menyukainya,” ujar Haruhi datar tanpa sadar bahwa yang dikatakannya barusan amat-sangat-sok-tahu, merutuki dirinya sendiri dua detik kemudian. Mengapa dirinya berbicara seperti itu?!
“Tidak, Haruhi—,” Mizu menarik nafas dalam, sekarang air matanya telah kering dan tidak terdengar satupun isakan darinya. Gadis itu menarik nafas dalam, menoleh pada Haruhi dan memberikan tatapan serius, “—sejak ia menciumku, aku membencinya.”
Perempuan memang sulit dimengerti.
“Berarti kau menyukainya, kan? Sebelum—yeah, itu,” deham Haruhi pelan berusaha mengalihkan dirinya dari tatapan mata jernih Mizu, “bukankah berarti kalian saling menyukai?” lanjut Haruhi, ditanggapi gadis itu dengan tawa pelan dan gelengan lemah. Diangkatnya saputangan milik Haruhi dan menatapnya, menghela nafas panjang,
“Kalau ia menyukaiku, ia tidak akan melakukan—itu,” lirihnya datar, menempelkan saputangan Haruhi ke wajahnya. Tidak terdengar isakan maupun tangisan dari Mizu. Sempat hening beberapa detik, dan keheningan itu terputus oleh Haruhi yang membelai kepala gadis itu sekarang. Entah apa maksudnya, bahkan Haruhi sendiri merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya ini. Benar atau tidak. Pemuda itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, matanya megarah ke depan, hanya sebagai pengalihan diri agar tidak menatap Mizu yang kini mengangkat kepalanya dan memasang ekspresi keheranan. Pasti gadis itu berpikir bahwa Haruhi hari ini cukup aneh. Bukan seperti dirinya.
“Aku tidak akan melakukannya padamu—,” lirih Haruhi pelan, dan segera menyambungnya begitu sadar bahwa yang dikatakannya amat-sangat-bodoh, “—jika aku Mendez,” sambungnya dan menurunkan tangannya dari kepala Mizu. Wajah Haruhi kini datar, tanpa ekspresi—walau sebenarnya sekarang ia cemas luar biasa dan panik, jantungnya bergejolak dua kali lipat lebih dari biasanya, belum lagi dirinya berharap Mizu tidak mendengar kata-katanya barusan. Unfortunately, she heard it.
“Aku tahu—,” lirihnya pelan diikuti senyuman penuh arti, dan membuat Haruhi tidak bisa berkata apapun mendengarnya. Entah apa maksud senyuman dan perkataan Mizu barusan, hanya gadis itu yang tahu.
Bolehkah Haruhi sedikit berharap pada gadis di sebelahnya ini?
“Ah~ Sudah jam berapa ini? Madam Hooch pasti menantiku,” ujar Mizu pada akhirnya, memecah keheningan yang entah sudah berapa kalinya terjadi pada dirinya dan Haruhi saat ini. Gadis Asia dengan lencana keemasan tersemat di jubahnya itu berdiri dari duduknya, merenggangkan lengannya dan menarik nafas dalam. Sementara itu Haruhi masih berada di bangkunya, mengerling Mizu dengan jantung yang semakin berpacu cepat—otaknya masih berpikir keras apa arti dari ucapan Mizu barusan. Pemuda itu mengalihkan pandangannya ketika Mizu berbalik dan menunjukkan saputangan hijau gelap milik Haruhi, “Arigatou, Haruhi. Saputanganmu akan kucuci dulu sebelum dikembalikan,” ucapnya dan memasukkan saputangan pemuda itu ke dalam tasnya. Haruhi hanya mengangguk kecil, kemudian berdiri dan menatap gadis di depannya. Hanya sekilas, karena ketika Mizu balik menatapnya Haruhi kembali beralih pada rerumputan di bawahnya,
“Kutemani,” ujarnya pelan, tidak menatap Mizu namun sesekali meliriknya. Mizu sekali lagi tersentak—entah sudah berapa kali ia mendapatkan banyak kejutan dari seorang Haruhi hari ini.
“Tidak apa-apa?” tanya Mizu dengan nada khawatir, mungkin saja setelah ini Haruhi ada urusan lain dan tidak perlu ia menemani Mizu kalau memang begitu. Namun pemuda di hadapannya itu menggangguk pelan tanpa bicara—melirik Mizu, dan gadis Asia itu menanggapi Haruhi dengan senyuman manis.
“Arigato,” ujarnya pelan, dan Haruhi melihat senyumannya.
She smiles again.
I'm helpless when she smiles
When she looks at me
I get so weak
Dan tatapannya itu, membuat Haruhi tidak bisa berbicara apapun kali ini selain mengangguk kecil.
Masih ada harapan.
Label: 5th Year, Fanfiction, One-shot
Is it over yet?...thinks this is not the end.
the song

Artist: Hideaki Tokunaga
Album Name: Vocalist 3
Release Type: Album
Release Date: 2007.08.15
Genre: J-Pop, Vocal
Tracklist:
01 KOI NI OCHITE "FALL IN LOVE"
02 PRIDE
03 MOMOIRO TOIKI
04 WAKARE UTA
05 YASASHII KISS WO SHITE
06 TIME GOES BY
07 TASOGARE MY LOVE
08 GENKI WO DASHITE
09 ENDLESS STORY
10 MACHIBUSE
11 TSUKI NO SHIZUKU
12 MAYOI MICHI
13 CAN YOU CELEBRATE?
*Info taken from here.
the face
藤原竜也
(ふじわら たつや)
Fujiwara Tatsuya
Actor
Born in Chichibu, Saitama, Japan, 1982-May-15
178cm/55kg
Taurus
Blood type A
He is famous for acting the part of Shuya Nanahara in the controversial 2000 film Battle Royale,
and continues the character as a leader of the Wild Seven in the sequel, Battle Royale II: Requiem.
He stars as Light Yagami, the leading role in Death Note and Death Note: The Last Name,
films based on the manga of the same name.
He is a Seibu Lions fan.
He has also worked with director Takashi Miike for Sabu.
In theatrical works, he is known for collaborating with Yukio Ninagawa,
one of the most influential directors in Japan. He started his career in theatre, before screen debut,
with the title role of Shintoku-maru, the boy who has an obsessive relationship with his step mother.
He has also acted in Shakespeare plays, including Hamlet and Romeo and Juliet.
credits
designer: & - nameless
part of the basecodes : DancingSheep
inspiration : /!nsomnia®
blog hosting : Blogger
Posting Komentar